Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode SQ3R Dalam Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP.
Oleh I Gusti Ngurah Pujawan [Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja].
ABSTRAK
Tujuan utama dari penelitian ini
adalah (a) meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan (b) meningkatkan
prestasi belajar siswa. Data tentang aktivitas belajar siswa dalam
pembelajaran dikumpulkan melalui observasi, dan data prestasi belajar
siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar. Selanjutnya,
data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan
metode SQ3R meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa.
Kata kunci : pembelajaran kooperatif, metode SQ3R.
ABSTRACT
The aims of this research was to improve: (a) students’ activity, and
(b) students’ achievement. Data of students’ activities were collected
through observation and data of students’ achievement collected using
achievement test. Thus, the collected data were analyzed descriptively.
The result of this research showed that implementation of cooperative
learning model with SQ3R methods improved the students’ activities and
the students’ achievement.
Key words: cooperative learning, SQ3R methods.
JUJU1. Pendahuluan
Berbagai upaya terpadu telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, misalnya melalui penyempurnaan kurikulum 1984
menjadi kurikulum 1994 dan selanjutnya mulai tahun 2004 pemerintah mulai
menerapkan kurikulum baru yang disebut dengan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), penataran guru tentang proses belajar mengajar,
kegiatan MGMP, dan sebagainya. Namun demikian, semua usaha tersebut
belum membuahkan hasil yang optimal. Hal ini tercermin dari Nilai
Ebtanas Murni (NEM) atau Nilai Ujian Akhir Murni (NUAM) siswa yang masih
rendah. Rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa, khususnya
dalam mata pelajaran matematika SMP dapat dilihat dari rata-rata NEM
yang dicapai sampai saat ini masih menjadi sorotan dari banyak pihak di
masyarakat. Secara berturut-turut dalam lima tahun terakhir ini, yaitu
sejak tahun ajaran 1997/1998 sampai dengan 2001/2002 untuk tingkat
Kabupaten Buleleng rerata NEM/NUAM matematika yang diperoleh siswa SMP
belum pernah melampui 6,0 (Depdiknas Kab. Buleleng, 2002). Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari salah seorang guru matematika di SMP
Negeri 4 Singaraja, bahwa rata-rata perolehan NEM/NUAM matematika siswa
SMP Negeri 4 Singaraja pada tahun ajaran 2001/2002 berkisar 4,69. Hal
ini menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran
matematika belum memenuhi harapan, dan keadaan ini perlu mendapat kajian
yang mendalam bagi kalangan praktisi pendidikan untuk mengetahui
faktor-faktor penyebabnya serta mencari solusinya.
Hasil observasi yang dilakukan pada saat pelaksanaan Program Academic Staff Deployment (ASD)
tahun 2001 terhadap pembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Singaraja
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang diidentifikasikan sebagai
penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah adanya asumsi yang
keliru dari para guru pengajar matematika yang menganggap bahwa,
pengetahuan dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran
siswa. Dengan asumsi tersebut para guru mencoba memfokuskan pelajaran
matematika pada upaya penuangan pengetahuan tentang matematika sebanyak
mungkin kepada siswa. Dengan demikian, metode transfer informasi yang
sering dikenal dengan metode mengajar klasik (ceramah) dianggap sebagai
metode yang paling efektif dalam menuangkan pengetahuan kepada siswa.
Pembelajaran matematika yang menggunakan metode ceramah akan
menghasilkan beberapa kelemahan, untuk itu penggunaan metode ini perlu
dikaji kembali dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran. Model
ceramah sangat tidak sesuai dalam pembelajaran matematika, karena
konsep-konsep yang terkandung dalam matematika merupakan konsep yang
memiliki tingkat abstraksi tinggi. Dengan model pembelajaran ini siswa
cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan guru tanpa terjadi
pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Keadaan
seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan dalam memaknai konsep
sehingga beresiko tinggi terjadinya miskonsepsi. Terjadinya miskonsepsi
ini akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep
lebih lanjut.
Penyajian materi ajar matematika yang didominasi metode ceramah
semata-mata berorientasi kepada materi yang tercantum dalam kurikulum
dan buku teks. Bagi para siswa, belajar matematika tampaknya hanya untuk
menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari masalah-masalah nyata
dalam kehidupan sehari-hari sehingga pelajaran matematika dirasakan
tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan oleh peserta didik. Hal
tersebut akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh
siswa dalam pelajaran matematika.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat satu faktor lainnya yang
mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap prestasi belajar siswa,
yakni tingkat sosial ekonomi siswa. Secara umum, tingkat sosial ekonomi
siswa SMP Negeri 4 Singaraja relatif rendah, sehingga fasilitas belajar
yang dimiliki siswa sangat terbatas. Sebagian besar dari mereka kurang
mampu mengusahakan fasilitas belajar sendiri, seperti buku-buku sumber
yang disarankan guru, mereka hanya mengandalkan buku paket yang dipinjam
dari perpustakaan sekolah. Disamping itu, minat dan motivasi belajar
siswa, khususnya dalam belajar matematika sangat rendah.
Permasalahan di atas disikapi melalui suatu tindakan berupa Penerapanan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Survey-Question-Read-Recite-Review (SQ3R).
Dipilihnya tindakan ini sebagai alternatif pemecahan masalah dilandasi
oleh beberapa agumentasi. Tantra dan Tengah (1999) menyebutkan bahwa
dalam belajar kooperatif siswa diberi dua macam tanggungjawab yang harus
mereka laksanakan. Pertama, semua siswa terlibat dalam mempelajari dan
menyelesaikan tugas yang dibebankan. Kedua, meyakinkan bahwa hasil yang
diperoleh mempunyai manfaat bagi diri mereka dan siswa lain dalam
kelompok bersangkutan. Nur (1999) mengemukakan, bahwa pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan atas paham
konstruktivisme yang mengasumsikan bahwa siswa akan lebih mudah
mengkostruksi pengetahuannya, lebih mudah menemukan dan memahami
pemecahan konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan
dengan temannya masalah yang dihadapi. Menurut Widja (1998), belajar
kooperatif lebih memungkinkan dapat meningkatkan peran aktif individu
dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Peran aktif individu
dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif, karena siswa
melakukan beraneka ragam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Keuntungan spesifik dari pembelajaran kooperatif untuk
ukuran kelas yang besar adalah dapat meningkatkan komunikasi dalam
kelas. Pada kelas ukuran besar, interaksi antarsiswa dan interaksi
antara siswa dengan guru tidak mungkin dapat berlangsung dengan efektif.
Partisipasi belajar siswa menjadi terbatas sehingga keadaan ini membuat
siswa untuk pasif dalam kegiatan pembelajaran. Hal yang demikian tidak
terjadi dalam pembelajaran kooperatif, tugas-tugas kelompok dikerjakan
secara bersama melalui suatu proses berpikir yang kreatif sehingga
terjadi interaksi yang kondusif.
Metode SQ3R memberi kemungkinan kepada para siswa untuk belajar
secara sistematis, efektif, dan efisien dalam menghadapi berbagai materi
ajar. Metode ini lebih efisien dipergunakan untuk belajar (Nur, 1999)
karena siswa dapat berulang-ulang mempelajari materi ajar dari tahap :
meneliti bacaan atau materi ajar (Survey), bertanya (Question), membaca/mempelajari (Read), menceritakan/menuliskan kembali (Recite) dan meninjau ulang (Review).
Pembelajaran dengan menggunakan metode SQ3R ini membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan pembelajaran yang dilakukan secara konvensional,
namun metode ini lebih produktif karena siswa terlibat aktif secara
mental yang merupakan kunci belajar yang efektif (Fisher, 1990). Dengan
menerapkan langkah-langkah metode SQ3R secara berulang-ulang, yaitu dari
langkah Survey, Question, Read, Recite, dan Review,
siswa akan lebih memahami konsep-konsep matematika yang dibahas,
sehingga dengan memahami konsep-konsep tersebut akan dapat
menumbuhkembangkan motivasi siswa untuk mengungkapkan pendapat,
mengajukan pertanyaan serta menyimpulkan yang pada akhirnya bermuara
pada peningkatan hasil belajar mereka.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk : (a) meningkatkan aktivitas
belajar matematika siswa, dan (b) meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa.
Manfaat praktis hasil penelitian ini adalah : (a) temuan-temuan
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh guru
dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran, (b) memberikan
pengalaman langsung kepada guru untuk mengimplementasikan model
pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R dalam upaya meningkatkan
kualitas pemebelajaran dan hasil belajar matematika siswa, dan melalui
pengalaman ini diharapkan mereka lebih kreatif dalam memilih dan
mengembangkan strategi pembelajaran yang inovatif dan produktif.
2. Metode Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIA SMP Negeri 4 Singaraja
tahun ajaran 2003/2004 yang terdiri atas 39 orang. Sedangkan, objek dari
penelitian ini adalah aktivitas, dan prestasi belajar siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang
pelaksanaannya dirancang dalam tiga siklus. Rancangan untuk tiap siklus
terdiri atas empat tahapan yakni : perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan, oservasi/evaluasi, dan refleksi. (Kemmis and Taggart, 1988).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(a) data mengenai aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran
dikumpulkan melalui observasi. Instrumen yang digunakan dalam
pengumpulan data ini adalah lembar observasi yang memuat 6 indikator
prilaku dan setiap indikator terdiri atas 4 deskriptor, dan (b) data
tentang prestasi belajar siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes
prestasi belajar.
Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Secara keseluruhan
penelitian ini dikatakan berhasil jika aktivitas dan prestasi belajar
siswa meningkat dari siklus ke siklus, dan pada akhir penelitian ini
aktivitas belajar siswa minimal tergolong aktif, rata-rata kelas, daya
serap (DS) dan ketuntasan belajar (KB) berturut-turut minimal 6,5, 65%
dan 85%.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Pengukuran aktivitas belajar siswa dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari hasil analisis
data diperoleh, bahwa rata-rata skor aktivitas belajar siswa pada siklus
I sebesar 12,44 yang tergolong cukup aktif. Selanjutnya, rata-rata
skor aktivitas belajar siswa pada siklus II dan siklus III
berturut-turut sebesar 15,10 dan 17,62 yang keduanya tergolong aktif.
Dari hasil analisis data prestasi belajar siswa diperoleh bahwa, skor
rata-rata kelas () sebesar 6,26 dengan daya serap 62,6 % dan ketuntasan
belajar 48,72 % pada siklus I, skor rata-rata kelas () sebesar 7,15
dengan daya serap 71,5 % dan ketuntasan belajar 74,36 % pada siklus II,
dan pada siklus III diperoleh skor rata-rata kelas () sebesar 7,73
dengan daya serap 77,3 % dan ketuntasan belajar 92,31 %.
3.2 Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa, tindakan yang dilakukan pada
siklus I cukup berhasil mengajak siswa lebih berperan aktif dalam
mengikuti pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas belajar
siswa yang tergolong cukup aktif dengan skor rata-rata aktivitas belajar
siswa sebesar 12,44. Walaupun tergolong cukup aktif, namun aktivitas
siswa pada siklus I ini belum memenuhi kriteria keberhasilan yang
ditetapkan.
Dari analisis data prestasi belajar siswa pada siklus I diketahui
bahwa skor rata-rata kelas () sebesar 6,26, DS = 62,6% dan KB = 48,72 %.
Menurut kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan, prestasi belajar
siswa dikatakan tercapai apabila skor rata-rata kelas, DS, dan KB siswa
berturut-turut minimal 6,5, 65%, dan 85%. Berdasarkan hal tersebut, maka
skor rata-rata kelas, DS dan KB siswa pada siklus I belum memenuhi
kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Hasil yang diperoleh pada pelaksanaan tindakan siklus I, tim peneliti
melakukan diskusi untuk mencermati dan mengkaji kendala-kendala yang
menjadi penyebab kurang berhasilnya pembelajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa kurang berhasilnya
pembelajaran yang dilakukan pada siklus I adalah disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu pertama, pada siklus I ini siswa belum terbiasa
dan belum mempunyai pengalaman dengan pembelajaran kooperatif dengan
metode SQ3R , sehingga pada awal-awal pembelajaran situasi kelas agak
ribut. Kedua, masih rendahnya motivasi siswa untuk belajar, hal ini
terlihat dari masih banyaknya siswa yang tidak mengerjakan tugas yang
terdapat dalam lembar kerja siswa (LKS). Ketiga, sebagian besar tugas
kelompok dikerjakan secara individu oleh anggota kelompok sehingga
diskusi kelompok tidak berlangsung dengan baik. Keempat, dalam diskusi
dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, hanya beberapa siswa
yang mau mengemukakan pendapat atau menjawab. Hal ini disebabkan oleh
kurang berani atau kurangnya rasa percaya diri siswa. Kelima, dalam
presentasi hasil kerja kelompok lebih banyak didominasi oleh anggota
kelompok yang berkemampuan lebih.
Berdasarkan hasil refleksi tindakan yang dilakukan pada siklus I,
maka dilakukan tindakan pada siklus II. Tindakan pada siklus II
merupakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kendala-kendala yang
muncul pada siklus I. Adapun tindakan yang dimaksud adalah sebagai
berikut. Pertama, pada siklus I siswa belum terbiasa mengikuti
pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R. Selanjutnya, guru memberikan
arahan kembali kepada siswa bagaimana seharusnya mereka dalam mengikuti
pembelajaran. Kedua, dengan berbagai strategi guru berusaha
membangkitkan kesadaran dan motivasi siswa untuk belajar dengan
sungguh-sungguh, dan dalam hal ini guru memberikan perhatian lebih
kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS. Ketiga,
guru menegaskan kembali bahwa tugas kelompok harus dikerjakan melalui
diskusi kelompok, dan diadakan modifikasi kelompok, yakni dengan
munukarkan anggota beberapa kelompok, sehingga keanggotaan masing-masing
kelompok menjadi lebih heterogen. Dalam hal ini, juga ditegaskan bahwa
kejasama kelompok dan tanggungjawab individu adalah hal penting yang
patut mereka lakukan dalam pembelajaran. Keempat, mendorong siswa yang
berkemampuan kurang untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi, dengan
memberikan kesempatan bertanya dan menjawab terlebih dahulu, misalnya
dengan menunjuk siswa sehingga interaksi siswa tidak hanya terbatas pada
siswa yang berkemampuan tinggi. Kelima, dalam presentasi hasil kerja
kelompok, guru mengarahkan agar presentasi dilakukan secara bergilir
dalam kelompok yang bersangkutan.
Dalam pembelajaran pada siklus II, siswa sudah mulai terbiasa dalam
mengikuti pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R. Ini terlihat dari
keantusiasan siswa setelah diberikan tugas yang tertuang ke dalam LKS,
kemudian siswa langsung mengerjakannya sesuai dengan petunjuk tanpa
menunggu perintah. Hal nyata yang dapat dilihat sebagai hasil
pelaksanaan tindakan siklus II adalah terjadinya peningkatan aktivitas
dan prestasi belajar siswa. Dari hasil analisis data, terlihat bahwa
terdapat peningkatan aktivitas belajar siswa, baik secara kuantitaif
maupun kualitatif. Skor aktivitas belajar siswa meningkat dari 12,44
pada siklus I menjadi 15,10 pada siklus II, yang secara kualitatif
meningkat dari katagori cukup aktif menjadi aktif. Peningkatan juga
terjadi pada prestasi belajar siswa, yaitu skor rata-rata kelas () =
6,26, DS = 62,6,% dan KB = 48,72 pada siklus I menjadi = = 7,15, DS =
71,5 % dan KB = 74,36 % pada siklus II. Dari kondisi ini dapat
disimpulkan bahwa aktivitas belajar siswa, rata-rata kelas, DS pada
siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan, namun KB siswa belum
memenuhi kriteria keberhasilan.
Dari hasil refleksi tindakan siklus II ditemukan beberapa kekurangan,
seperti : kurang baiknya kerja sama kelompok dalam memecahkan masalah.
Dalam beberapa kelompok, siswa yang berkemampuan lebih masih mendominasi
jalannya diskusi sehingga interaksi mengarah dari siswa yang
berkemampuan lebih ke siswa yang berkemapuan kurang. Dalam hal ini,
banyak siswa yang kurang percaya dengan penjelasan temannya walaupun
penjelasan tersebut benar dan mereka lebih percaya dengan penjelasan
yang diberikan guru.
Untuk mengkaji kekurangan yang dialami pada siklus II, maka peneliti
bersama praktisi merefleksi kembali tindakan yang telah dilakukan dalam
rangka pelaksanaan tindakan pada siklus III.
Pada siklus III, guru kembali menekankan pentingnya kerjasama dalam
kelompok dan mereka harus saling percaya, karena dengan saling percaya
inilah akan terjalin kerjasama yang baik. Disamping itu, guru harus
dapat mengontrol diri, sehingga betul-betul memposisikan diri sebagai
fasilitator, dan memberikan bantuan seperlunya.
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa, aktivitas belajar
siswa dalam mengikuti pembelajaran tergolong aktif. Walaupun secara
kualitatif, aktivitas belajar siswa tidak meningkat, namun secara
kuantitatif rata-rata skor aktivitas belajar siswa meningkat dari 15,10
pada siklus II menjadi 17,62 pada siklus III. Aktivitas belajar siswa
pada siklus III memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Hasil analisis data juga menunjukkan, bahwa terdapat peningkatan
prestasi belajar siswa dari siklus II ke siklus III, yakni rata-rata
kelas () = 7,15 , DS = 71,5 % dan KB = 74,36 % pada siklus II menjadi
() = 7,73, DS = 77,3 % dan KB = 92,31 %. Dari kondisi ini dapat
disimpulkan bahwa, skor rata-rata kelas, DS dan KB siswa pada siklus III
sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Berdasarkan hasil di atas, secara keseluruhan penelitian ini dapat
dikatakan berhasil karena pada akhir penelitian semua kriteria
keberhasilan yang ditetapkan telah terpenuhi. Diyakini bahwa
keberhasilan ini merupakan dampak postitif dari model pembelajaran yang
diimplementasikan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan atas
paham konstruktivisme yang mengasumsikan bahwa siswa akan lebih mudah
mengkostruksi pengetahuannya, lebih mudah menemukan dan memahami
pemecahan konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan
dengan temannya masalah yang dihadapi. Menurut Widja (1998), belajar
kooperatif lebih memungkinkan dapat meningkatkan peran aktif individu
dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Peran aktif individu
dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif, karena siswa
melakukan beraneka ragam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Selanjutnya, metode SQ3R memberi peluang kepada para
siswa untuk belajar secara sistematis, efektif dan efisien dalam
menghadapi berbagai materi ajar. Metode ini lebih efektif dipergunakan
untuk belajar (Nur, 1999) karena siswa diberi waktu yang lebih banyak
untuk berkreasi dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dibandingkan
pembelajaran konvensional. Keterlibatan aktif siswa secara mental
merupakan kunci belajar yang efektif (Fisher, 1990). Dengan
langkah-langkah metode SQ3R ini, siswa merasa betul-betul terlibat dalam
belajar. Keterlibatan ini, akan dapat menumbuhkembangkan motivasi
belajar siswa yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan hasil belajar
mereka. Walaupun implementasi model pembelajaran ini dikatakan
berhasil, namun masih terdapat beberapa kekurangan, di antaranya (a)
masih belum optimalnya kerjasama kelompok dalam memecahkan masalah, (b)
masih sulitnya menumbuhkan motivasi belajar siswa, (c) terbatasnya
sarana belajar yang dimiliki siswa, dan hal ini tak dapat dilepaskan
dari tingkat sosial ekonomi siswa, dan (d) jumlah anggota kelas yang
cukup besar dan fasilitas pendukung yang kurang memadai merupakan
kendala tersendiri dalam penerapan model pembelajaran ini.
4. Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat
disimpulan bahwa (a) implementasi model pembelajaran kooperatif dengan
metode SQ3R dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Hal ini dapat
dilihat dari rata-rata skor aktivitas belajar siswa, yaitu dari 12,44
pada siklus I menjadi 15,10 pada siklus II dan menjadi 17,62 pada siklus
III. Secara kualitatif, aktivitas belajar siswa juga mengalami
peningkatan dari cukup aktif pada siklus I menjadi aktif pada siklus II
dan siklus III, (b) implementasi model pembelajaran kooperatif dengan
metode SQ3R dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Terjadi
peningkatan skor rata-rata kelas dari 6,26 pada siklus I menjadi 7,15
pada siklus II, dan menjadi 7,73 pada siklus III. Daya serap meningkat
dari siklus ke siklus, yaitu dari 62,6 % pada siklus I menjadi 71,5 %
pada siklus II dan menjadi 77,3 % pada siklus III. Ketuntasan belajar
siswa juga meningkat dari siklus ke siklus, yakni 48,72 % pada siklus I
menjadi 74,36 pada siklus II, dan menjadi 92,31 % pada siklus III.
Sebagai tindak lanjut hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran. Pertama, diharapkan
kepada guru matematika kelas IIA SMP Negeri 4 Singaraja untuk tetap
menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran kooperatif dengan
metode SQ3R, minimal sesuai dengan rancangan tindakan yang telah
dipaparkan dalam penelitian ini. Kedua, diharapkan juga kepada
para guru matematika lainya untuk menerapkan dan mengembangkan model
pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R dalam rangka memperbaiki
kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa, khususnya dalam mata
pelajaran matematika. Ketiga, diharapkan kepada peneliti lain
yang berminat, untuk meneliti lebih lanjut mengenai implementasi model
pembelajaran ini dengan tempat dan subjek yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
disadur dari: http://www.infodiknas.com/281-penerapan-model-pembelajaran-kooperatif-dengan-metode-sq3r-dalam-meningkatkan-aktivitas-dan-prestasi-belajar-matematika-siswa-smp/
0 comments :
Post a Comment