281 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode SQ3R Dalam Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode SQ3R Dalam Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP.

Oleh I Gusti Ngurah Pujawan [Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja].

 ABSTRAK

                Tujuan utama dari penelitian ini adalah (a) meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan  (b) meningkatkan prestasi belajar siswa. Data tentang aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran dikumpulkan melalui observasi, dan data prestasi belajar siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar. Selanjutnya, data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa.

Kata kunci : pembelajaran kooperatif, metode SQ3R.


ABSTRACT

The aims of this research was to improve: (a) students’ activity, and (b) students’ achievement. Data of students’ activities were collected through observation and data of students’ achievement collected using achievement test. Thus, the collected data were analyzed descriptively. The result of this research showed that implementation of cooperative learning model with SQ3R methods improved the students’ activities and the students’ achievement.

Key words: cooperative learning, SQ3R methods.
JUJU1. Pendahuluan
Berbagai upaya terpadu telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya melalui penyempurnaan kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan selanjutnya mulai tahun 2004 pemerintah mulai menerapkan kurikulum baru yang disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), penataran guru tentang proses belajar mengajar, kegiatan MGMP, dan sebagainya. Namun demikian, semua usaha tersebut belum membuahkan hasil yang optimal. Hal ini tercermin dari Nilai Ebtanas Murni (NEM) atau Nilai Ujian Akhir Murni (NUAM) siswa yang masih rendah. Rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa, khususnya dalam mata pelajaran matematika SMP dapat dilihat dari rata-rata NEM yang dicapai sampai saat ini masih menjadi sorotan dari banyak pihak di masyarakat. Secara berturut-turut dalam lima tahun terakhir ini, yaitu sejak tahun ajaran 1997/1998 sampai dengan 2001/2002 untuk tingkat  Kabupaten Buleleng rerata NEM/NUAM matematika yang diperoleh siswa SMP belum pernah melampui 6,0 (Depdiknas Kab. Buleleng, 2002). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah seorang guru matematika di SMP Negeri 4 Singaraja, bahwa rata-rata perolehan NEM/NUAM matematika siswa SMP Negeri 4 Singaraja pada tahun ajaran 2001/2002 berkisar 4,69. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika belum memenuhi harapan, dan keadaan ini perlu mendapat kajian yang mendalam bagi kalangan praktisi pendidikan untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya serta mencari solusinya.
Hasil observasi yang dilakukan pada saat pelaksanaan Program Academic Staff Deployment (ASD) tahun 2001 terhadap pembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Singaraja menunjukkan bahwa salah satu faktor yang diidentifikasikan sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah adanya asumsi yang keliru dari para guru pengajar matematika yang menganggap bahwa, pengetahuan dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut para guru mencoba memfokuskan pelajaran matematika pada upaya penuangan pengetahuan tentang matematika sebanyak mungkin kepada siswa. Dengan demikian, metode transfer informasi yang sering dikenal dengan metode mengajar klasik (ceramah) dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam menuangkan pengetahuan kepada siswa.
Pembelajaran matematika yang menggunakan metode ceramah akan menghasilkan beberapa kelemahan, untuk itu penggunaan metode ini perlu dikaji kembali dalam rangka peningkatan  kualitas pembelajaran. Model ceramah sangat tidak sesuai dalam pembelajaran matematika, karena konsep-konsep yang terkandung dalam matematika merupakan konsep yang memiliki tingkat abstraksi tinggi. Dengan model pembelajaran ini siswa cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan  dalam memaknai konsep sehingga beresiko tinggi terjadinya miskonsepsi. Terjadinya miskonsepsi ini akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep lebih lanjut.
Penyajian materi ajar matematika yang didominasi metode ceramah semata-mata berorientasi kepada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks. Bagi para siswa, belajar matematika tampaknya hanya untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga pelajaran matematika dirasakan tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan oleh peserta didik. Hal tersebut akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat satu faktor lainnya yang mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap prestasi belajar siswa, yakni tingkat sosial ekonomi siswa. Secara umum, tingkat sosial ekonomi siswa SMP Negeri 4 Singaraja relatif rendah, sehingga fasilitas belajar yang dimiliki siswa sangat terbatas. Sebagian besar dari mereka kurang mampu mengusahakan fasilitas belajar sendiri, seperti buku-buku sumber yang disarankan guru, mereka hanya mengandalkan buku paket yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Disamping itu, minat dan motivasi belajar siswa, khususnya dalam belajar matematika sangat rendah.
Permasalahan di atas disikapi melalui suatu tindakan berupa Penerapanan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Survey-Question-Read-Recite-Review (SQ3R). Dipilihnya tindakan ini sebagai alternatif pemecahan masalah dilandasi oleh beberapa agumentasi. Tantra dan Tengah (1999) menyebutkan bahwa dalam belajar kooperatif siswa diberi dua macam tanggungjawab yang harus mereka laksanakan. Pertama, semua siswa terlibat dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas yang dibebankan. Kedua, meyakinkan bahwa hasil yang diperoleh mempunyai manfaat bagi diri mereka dan siswa lain dalam kelompok bersangkutan. Nur (1999) mengemukakan, bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan atas paham konstruktivisme yang mengasumsikan bahwa siswa akan lebih mudah mengkostruksi pengetahuannya, lebih mudah menemukan dan memahami pemecahan konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan dengan temannya masalah yang dihadapi. Menurut Widja (1998), belajar kooperatif lebih memungkinkan dapat meningkatkan peran aktif individu dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Peran aktif individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif, karena siswa melakukan beraneka ragam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Keuntungan spesifik dari pembelajaran kooperatif untuk ukuran kelas yang besar adalah dapat meningkatkan komunikasi dalam kelas. Pada kelas ukuran besar, interaksi antarsiswa dan interaksi antara siswa dengan guru tidak mungkin dapat berlangsung dengan efektif. Partisipasi belajar siswa menjadi terbatas sehingga keadaan ini membuat siswa untuk pasif dalam kegiatan pembelajaran. Hal yang demikian tidak terjadi dalam pembelajaran kooperatif, tugas-tugas kelompok dikerjakan secara bersama melalui suatu proses berpikir yang kreatif sehingga terjadi interaksi yang kondusif.
Metode SQ3R memberi kemungkinan kepada para siswa untuk belajar secara sistematis, efektif, dan efisien dalam menghadapi berbagai materi ajar. Metode ini lebih efisien dipergunakan untuk belajar (Nur, 1999) karena siswa dapat berulang-ulang mempelajari materi ajar dari tahap : meneliti bacaan atau materi ajar (Survey), bertanya (Question), membaca/mempelajari (Read), menceritakan/menuliskan kembali (Recite) dan meninjau ulang (Review). Pembelajaran dengan menggunakan metode SQ3R ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pembelajaran yang dilakukan secara konvensional, namun metode ini lebih produktif karena siswa terlibat aktif secara mental yang merupakan kunci belajar yang efektif (Fisher, 1990). Dengan menerapkan langkah-langkah metode SQ3R secara berulang-ulang, yaitu dari langkah Survey, Question, Read, Recite, dan Review, siswa akan lebih memahami konsep-konsep matematika yang dibahas, sehingga dengan memahami konsep-konsep tersebut akan dapat menumbuhkembangkan motivasi siswa untuk mengungkapkan pendapat, mengajukan pertanyaan serta menyimpulkan yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan hasil belajar mereka.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk : (a) meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa, dan (b) meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Manfaat praktis  hasil penelitian ini adalah : (a) temuan-temuan  penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh guru dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran, (b) memberikan pengalaman langsung kepada guru untuk mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R dalam upaya meningkatkan kualitas pemebelajaran dan hasil belajar matematika siswa, dan melalui pengalaman ini diharapkan mereka lebih kreatif dalam memilih dan mengembangkan strategi pembelajaran yang inovatif dan produktif.

2. Metode Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IIA  SMP Negeri 4 Singaraja tahun ajaran 2003/2004 yang terdiri atas 39 orang. Sedangkan, objek dari penelitian ini adalah aktivitas, dan prestasi belajar siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dirancang dalam tiga siklus. Rancangan untuk tiap siklus terdiri atas empat tahapan yakni : perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, oservasi/evaluasi, dan refleksi. (Kemmis and Taggart, 1988).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah  (a) data mengenai aktivitas belajar siswa dalam proses pembelajaran dikumpulkan melalui observasi. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah lembar observasi yang memuat 6 indikator prilaku dan setiap indikator terdiri atas 4 deskriptor, dan  (b) data tentang prestasi belajar siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes prestasi belajar.
Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Secara keseluruhan penelitian ini dikatakan berhasil  jika aktivitas dan prestasi belajar siswa meningkat dari siklus ke siklus, dan pada akhir penelitian ini aktivitas belajar siswa minimal tergolong aktif, rata-rata kelas, daya serap (DS) dan ketuntasan belajar (KB) berturut-turut minimal 6,5, 65% dan 85%.

3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Pengukuran aktivitas belajar siswa dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari hasil analisis data diperoleh, bahwa rata-rata skor aktivitas belajar siswa pada siklus I sebesar 12,44 yang tergolong cukup aktif. Selanjutnya,  rata-rata skor aktivitas belajar siswa pada siklus II dan siklus III berturut-turut sebesar 15,10 dan 17,62 yang keduanya tergolong aktif.
Dari hasil analisis data prestasi belajar siswa diperoleh bahwa, skor rata-rata kelas () sebesar 6,26 dengan daya serap 62,6 % dan ketuntasan belajar 48,72 % pada siklus I, skor rata-rata kelas () sebesar 7,15 dengan daya serap 71,5 % dan ketuntasan belajar 74,36 % pada siklus II, dan pada siklus III diperoleh skor rata-rata kelas () sebesar 7,73 dengan daya serap 77,3 % dan ketuntasan belajar 92,31 %.

3.2   Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa, tindakan yang dilakukan pada siklus I cukup berhasil mengajak siswa lebih berperan aktif dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas belajar siswa yang tergolong cukup aktif dengan skor rata-rata aktivitas belajar siswa sebesar 12,44. Walaupun tergolong cukup aktif, namun aktivitas siswa pada siklus I ini belum memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Dari analisis data prestasi belajar siswa pada siklus I diketahui bahwa skor rata-rata kelas () sebesar 6,26, DS = 62,6% dan KB = 48,72 %. Menurut kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan, prestasi belajar siswa dikatakan tercapai apabila skor rata-rata kelas, DS, dan KB siswa berturut-turut minimal 6,5, 65%, dan 85%. Berdasarkan hal tersebut, maka skor rata-rata kelas, DS dan KB siswa pada siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Hasil yang diperoleh pada pelaksanaan tindakan siklus I, tim peneliti melakukan diskusi untuk mencermati dan mengkaji kendala-kendala yang menjadi penyebab kurang berhasilnya pembelajaran yang dilaksanakan. Berdasarkan hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa kurang berhasilnya pembelajaran yang dilakukan pada siklus I adalah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu  pertama, pada siklus I ini siswa belum terbiasa dan belum mempunyai pengalaman dengan pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R , sehingga pada awal-awal pembelajaran situasi kelas agak ribut. Kedua, masih rendahnya motivasi siswa untuk belajar, hal ini terlihat dari masih banyaknya siswa yang tidak mengerjakan tugas yang terdapat dalam lembar kerja siswa (LKS). Ketiga, sebagian besar tugas kelompok dikerjakan secara individu oleh anggota kelompok sehingga diskusi kelompok tidak berlangsung dengan baik. Keempat, dalam diskusi dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, hanya beberapa siswa  yang mau mengemukakan pendapat atau menjawab. Hal ini disebabkan oleh kurang berani atau kurangnya rasa percaya diri siswa. Kelima, dalam presentasi hasil kerja kelompok lebih banyak didominasi oleh anggota kelompok yang berkemampuan lebih.
Berdasarkan hasil refleksi tindakan yang dilakukan pada siklus I, maka dilakukan tindakan pada siklus II. Tindakan pada siklus II merupakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kendala-kendala yang muncul pada siklus I. Adapun tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, pada siklus I siswa belum terbiasa mengikuti pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R. Selanjutnya, guru memberikan arahan kembali kepada siswa bagaimana seharusnya mereka dalam mengikuti pembelajaran. Kedua, dengan berbagai strategi guru berusaha membangkitkan kesadaran dan motivasi siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan dalam hal ini guru memberikan perhatian lebih kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS. Ketiga, guru menegaskan kembali bahwa tugas kelompok harus dikerjakan melalui diskusi kelompok, dan diadakan modifikasi kelompok, yakni dengan munukarkan anggota beberapa kelompok, sehingga keanggotaan masing-masing kelompok menjadi lebih heterogen. Dalam hal ini, juga ditegaskan bahwa kejasama kelompok dan tanggungjawab individu adalah hal penting yang patut mereka lakukan dalam pembelajaran. Keempat, mendorong siswa yang berkemampuan kurang untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi, dengan memberikan kesempatan bertanya dan menjawab terlebih dahulu, misalnya dengan menunjuk siswa sehingga interaksi siswa tidak hanya terbatas pada siswa yang berkemampuan tinggi. Kelima, dalam presentasi hasil kerja kelompok, guru mengarahkan agar presentasi dilakukan secara bergilir dalam kelompok yang bersangkutan.
Dalam pembelajaran pada siklus II, siswa sudah mulai terbiasa dalam mengikuti pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R. Ini terlihat dari keantusiasan siswa setelah diberikan tugas yang tertuang ke dalam LKS, kemudian siswa langsung mengerjakannya sesuai dengan petunjuk tanpa menunggu perintah. Hal nyata yang dapat dilihat sebagai hasil pelaksanaan tindakan siklus II adalah terjadinya peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Dari hasil analisis data, terlihat bahwa terdapat peningkatan aktivitas belajar siswa, baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Skor aktivitas belajar siswa meningkat dari 12,44 pada siklus I menjadi 15,10 pada siklus II, yang secara kualitatif meningkat dari katagori cukup aktif menjadi aktif. Peningkatan juga terjadi pada prestasi belajar siswa, yaitu skor rata-rata kelas () = 6,26, DS = 62,6,% dan KB = 48,72 pada siklus I menjadi = = 7,15, DS = 71,5 % dan KB = 74,36 %  pada  siklus II. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar siswa, rata-rata kelas, DS pada siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan, namun KB siswa belum memenuhi kriteria keberhasilan.
Dari hasil refleksi tindakan siklus II ditemukan beberapa kekurangan, seperti : kurang baiknya kerja sama kelompok dalam memecahkan masalah. Dalam beberapa kelompok, siswa yang berkemampuan lebih masih mendominasi jalannya diskusi sehingga interaksi mengarah dari siswa yang berkemampuan lebih ke siswa yang berkemapuan kurang. Dalam hal ini, banyak siswa yang kurang percaya dengan penjelasan temannya walaupun penjelasan tersebut benar dan mereka lebih percaya dengan penjelasan yang diberikan guru.
Untuk mengkaji kekurangan yang dialami pada siklus II, maka peneliti bersama praktisi merefleksi kembali tindakan yang telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan tindakan pada siklus III.
Pada siklus III, guru kembali menekankan pentingnya kerjasama dalam kelompok dan mereka harus saling percaya, karena dengan saling percaya inilah akan terjalin kerjasama yang baik. Disamping itu, guru harus dapat mengontrol diri, sehingga betul-betul memposisikan diri sebagai fasilitator, dan memberikan bantuan seperlunya.
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa, aktivitas belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran tergolong aktif. Walaupun secara kualitatif, aktivitas belajar siswa tidak meningkat, namun secara kuantitatif rata-rata skor aktivitas belajar siswa meningkat dari 15,10 pada siklus II menjadi 17,62 pada siklus III. Aktivitas belajar siswa pada siklus III memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Hasil analisis data juga menunjukkan, bahwa terdapat peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus II ke siklus III, yakni rata-rata kelas () = 7,15 ,  DS = 71,5 % dan KB = 74,36 % pada siklus II menjadi  () = 7,73,  DS = 77,3 % dan KB = 92,31 %. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa, skor rata-rata kelas, DS dan KB siswa pada siklus III sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Berdasarkan hasil di atas, secara keseluruhan penelitian ini dapat dikatakan berhasil karena pada akhir penelitian semua kriteria keberhasilan yang ditetapkan telah terpenuhi. Diyakini bahwa keberhasilan ini merupakan dampak postitif dari model pembelajaran yang  diimplementasikan. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan atas paham konstruktivisme yang mengasumsikan bahwa siswa akan lebih mudah mengkostruksi pengetahuannya, lebih mudah menemukan dan memahami pemecahan konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan dengan temannya masalah yang dihadapi. Menurut Widja (1998), belajar kooperatif lebih memungkinkan dapat meningkatkan peran aktif individu dibandingkan dengan belajar secara konvensional. Peran aktif individu dapat dimaksimalkan dalam belajar secara kooperatif, karena siswa melakukan beraneka ragam tugas yang selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Selanjutnya, metode SQ3R memberi  peluang kepada para siswa untuk belajar secara sistematis, efektif dan efisien dalam menghadapi berbagai materi ajar. Metode ini lebih efektif dipergunakan untuk belajar (Nur, 1999) karena siswa diberi  waktu yang lebih banyak untuk berkreasi dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dibandingkan pembelajaran konvensional. Keterlibatan aktif siswa secara mental merupakan kunci belajar yang efektif (Fisher, 1990). Dengan langkah-langkah metode SQ3R ini, siswa merasa betul-betul terlibat dalam belajar. Keterlibatan ini, akan dapat menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan hasil belajar mereka. Walaupun implementasi model pembelajaran ini dikatakan berhasil, namun masih terdapat beberapa kekurangan, di antaranya  (a) masih belum optimalnya kerjasama kelompok dalam memecahkan masalah, (b) masih sulitnya menumbuhkan motivasi belajar siswa, (c) terbatasnya sarana belajar yang dimiliki siswa, dan hal ini tak dapat dilepaskan dari tingkat sosial ekonomi siswa, dan (d) jumlah anggota kelas yang cukup besar dan fasilitas pendukung yang kurang memadai merupakan kendala tersendiri dalam penerapan model pembelajaran ini.

4. Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat disimpulan bahwa (a) implementasi model pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R  dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor aktivitas belajar siswa, yaitu dari 12,44 pada siklus I menjadi 15,10 pada siklus II dan menjadi 17,62 pada siklus III. Secara kualitatif, aktivitas belajar siswa juga mengalami peningkatan dari cukup aktif pada siklus I menjadi aktif pada siklus II dan  siklus III, (b) implementasi model pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R  dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Terjadi peningkatan skor rata-rata kelas dari 6,26 pada siklus I menjadi 7,15 pada siklus II, dan menjadi 7,73 pada siklus III. Daya serap meningkat dari siklus ke siklus, yaitu dari 62,6 % pada siklus I menjadi 71,5 % pada siklus II dan menjadi 77,3 % pada siklus III. Ketuntasan belajar  siswa juga meningkat dari siklus ke siklus, yakni 48,72 % pada siklus I menjadi 74,36 pada siklus II, dan menjadi 92,31 % pada siklus III.
Sebagai tindak lanjut hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran. Pertama,  diharapkan kepada guru matematika kelas IIA SMP Negeri 4 Singaraja untuk tetap menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran kooperatif  dengan metode SQ3R, minimal sesuai dengan rancangan tindakan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini. Kedua, diharapkan juga kepada para guru matematika lainya untuk menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran kooperatif dengan metode SQ3R dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa, khususnya dalam mata pelajaran matematika. Ketiga, diharapkan kepada peneliti lain yang berminat, untuk meneliti lebih lanjut mengenai implementasi model pembelajaran ini dengan tempat dan subjek yang berbeda.

 DAFTAR PUSTAKA


Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli  2005

disadur dari: http://www.infodiknas.com/281-penerapan-model-pembelajaran-kooperatif-dengan-metode-sq3r-dalam-meningkatkan-aktivitas-dan-prestasi-belajar-matematika-siswa-smp/

0 comments :