Belajar untuk Hidup

ADA ungkapan berbunyi non scolae sed vitae discimus, artinya, kita belajar bukan demi sekolah, tetapi demi hidup (Ibe Karyanto: 2004). Ungkapan ini menarik direnungkan di tengah kecenderungan penyempitan makna belajar sekadar tuntutan sekolah.
Memang benar anak-anak sekolah memiliki kewajiban belajar, namun belajar bukan hanya mendapatkan nilai baik dan lulus dari bangku sekolah. Lebih dari itu, belajar untuk eksistensi hidup.

Jika kita menyimak pengertian dari para ahli, belajar menegaskan adanya perubahan. Perubahan ini beragam bentuknya, baik pengetahuan, tingkah laku, kebiasaan, sikap, keterampilan, kecakapan dan sebagainya. Dengan kata lain, kita dapat mengukur keberhasilan belajar dari perubahan yang didapatkan. Adapun ciri-ciri yang menandai perubahan sebagai hasil belajar, menurut Mohamad Surya (2004), disadari, bersifat kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat relatif permanen dan bukan temporer, serta bertujuan dan terarah.
Untuk lebih jelas, kita bisa mengambil contoh belajar matematika. Dengan belajar matematika, kita memiliki kecakapan berhitung. Ketika belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), kita tak hanya mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terkait alam, tetapi juga sikap dan tingkah laku untuk menjaga dan memelihara alam. Begitu pula dengan belajar-belajar lainnya.
Merangkum pendapat dari para ahli, Mustakim (2001) menjelaskan, ada jenis belajar keterampilan, belajar pengetahuan/pemahaman dan belajar sikap/nilai/norma. Kita bisa memiliki keterampilan tertentu didapatkan dari belajar. Dengan belajar, kita memiliki sikap menghargai perbedaan. Kita dapat hidup bijak juga karena belajar.
Belajar tentu bukan hanya urusan anak sekolah. Tak mengenal batas usia, siapa pun kita harus selalu belajar. Kita tak boleh puas dengan pengetahuan yang telah diperoleh, karena sesungguhnya pengetahuan itu terus berkembang. Untuk menghadapi kehidupan kini dan masa mendatang, kita pun perlu belajar mengasah keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan. Untuk membentuk sikap menjadi lebih baik, kita juga perlu belajar.
Meminjam pendapat Dwi Budiyanto, kita tak sekadar belajar untuk memahami (learning how to think), tetapi juga belajar untuk mengamalkan (learning how to do) dan belajar untuk menjadi (learning how to be). Apa yang dipelajari dalam belajar seyogianya bisa membentuk pola pikir, sikap dan perilaku sebagai upaya menjadi manusia paripurna. Sesungguhnya, kondisi setiap zaman itu berbeda, kita bisa hidup dalam zaman apapun apabila memiliki tradisi belajar yang kuat. q-s
*) Budhi Dariah Astuti,
pendidik dan ibu rumah tangga tinggal di Yogyakarta.

sumber : pendis kemenag

0 comments :